Jumat, 16 Mei 2014

SISTEM INTEGRASI PADI TERNAK SAPI POTONG

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sejalan dengan amanat Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK) yang telah dicanangkan oleh Presiden tanggal 11 Juni 2005, bangsa ini perlu membangun ketahanan pangan yang mantap. Merespon sasaran dalam RPPK tersebut, pemerintah Propinsi Sulawesi Selatan telah penetapkan Program Percepatan Pembangunan Pertanian dengan menetapkan 4 komoditi utama sebagai sasaran yakni padi (beras), kakao, udang dan ternak sapi. Program ini telah menetapkan sasaran utama yaitu Surplus 2 juta ton beras tahun 2009, pencapaian sejuta ekor sapi tahun 2013, dan revitalisasi perkebunan kakao dan tambak udang. Dalam penetapan sasaran keempat komoditi tersebut, masing-masing dinas terkait sebagai penanggung jawab program membuat target secara terpisah, padahal jika dipandang bahwa usaha pertanian secara umum sebagai suatu sistem, keempat program tersebut harusnya di jalankan secara terintegrasi dan terpadu (Ali, Hikma. M., 2011 : 2).
Dalam bidang peternakan sapi potong merupakan penyumbang daging terbesar dari kelompok ruminansia terhadap produksi daging nasional sehingga usaha ternak ini berpotensi untuk dikembangkan sebagai usaha yang menguntungkan dan meningkatkan pendapatan peternak. Sapi potong telah lama dipelihara oleh sebagian masyarakat sebagai tabungan dan tenaga kerja untuk mengolah tanah dengan manajemen pemeliharaan secara tradisional. Pola usaha ternak sapi potong sebagian besar berupa usaha rakyat untuk menghasilkan bibit atau penggemukan, dan pemeliharaan secara terintegrasi dengan tanaman pangan maupun tanaman perkebunan.
Namun demikian masyarakat masih mengusahakannya secara tradisional atau sambilan sehingga produktifitasnya rendah dan belum mampu mengelolah secara baik contohnya dengan pemanfaatan sumber daya pertanian dan peternakan secara berkesinambungan sehingga segala sesuatunya akan kembali kealam yaitu dengan memanfaatkan kembali limbah yang dihasilkan menjadi sumber daya yang menghasilkan seperti tanaman pangan yang dihasilkan yaitu padi, jeraminya dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak terutama ternak sapi potong. Sedangkan ternak sapi potong menghasilkan daging sebagai bahan pangan protein dan juga menghasilkan kotoran ternak yang bisa dimanfaatkan sebagai pupuk, peptisida yang dibutuhkan untuk tanaman pangan sehingga dengan keterpaduan keduanya mampu meningkatkan pendapatan masyarakat serta meminimalkan biaya produksi usaha. Untuk itu perlu adanya pengkajian lebih lanjut untuk penerapan teknologi yang tepat guna dan berkelanjutan.
Pengembangan sapi potong perlu dilakukan melalui pendekatan usaha yang berkelanjutan, modern, dan profesional dengan memanfaatkan inovasi teknologi untuk meningkatkan efisiensi usaha. Selain itu, pengembangan usaha sapi potong hendaknya didukung oleh industri pakan dengan mengoptimalkan pemanfaatan bahan pakan spesifik lokasi melalui pola yang terintegrasi. Untuk memenuhi kecukupan pangan, terutama protein hewani, pengembangan peternakan yang terintegrasi merupakan salah satu pilar pembangunan sosial ekonomi. Pemanfaatan dan pelestarian sumber daya peternakan yang seimbang merupakan cetak biru (blue print) pengembangan peternakan di masa mendatang (Riady, 2004).
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Ekonomis Sapi Potong
Sapi potong merupakan komoditas subsektor peternakan yang sangat potensial. Hal ini bisa dilihat dari tingginya permintaan akan daging sapi. Namun, sejauh ini Indonesia belum mampu menyuplai semua kebutuhan daging tersebut. Akibatnya, pemerintah terpaksa membuka kran inpor sapi hidup maupun daging sapi dari negara lain, misalnya Australia dan Selandia Baru. Usaha peternakan sapi potong pada saat ini masih tetap menguntungkan. Pasalnya, permintaan pasar akan daging sapi masih terus memperlihatkan adanya peningkatan. Selain dipasar domestik, permintaan daging di pasar luar negeri juga cukup tinggi (Rianto & Purbowati, 2009 : 3).
Ternak sapi potong Indonesia memiliki arti yang sangat strategis, terutama dikaitkan dengan fungsinya sebagai penghasil daging, tenaga kerja, penghasil pupuk kandang, tabungan, atau sumber rekreasi. Arti yang lebih utamanya adalah sebagai komoditas sumber pangan hewani yang bertujuan untuk mensejahterakan manusia, memenuhi kebutuhan selera konsumen dalam rangka meningkatkan kualitas hidup, dan mencerdaskan masyarakat (Santosa & Yogaswara, 2006).
Indonesia dengan jumlah penduduk diatas 220 juta jiwa juga membutuhkan pasokan daging sapi dalam jumlah yang besar. Sejauh ini, peternakan domestik belum mampu memenuhi permintaan daging dalam negeri. Timpangnya antara pasokan dan permintaan ternyata masih tinggi, tidak mengherankan jika lembaga yang memiliki otoritas tertinggi dalam hal pertanian termasuk petenakan – Departemen Pertanian (Deptan) mengakui masalah utama usaha sapi potong di Indonesia terletak pada suplai yang selalu mengalami kekurangan setiap tahunnya. Sementara laju pertumbuhan konsumsi dan pertambahan penduduk tidak mampu diimbangi oleh laju peningkatn populasi sapi potong. Pada gilirannya, kondisi seperti ini memaksa Indonesia untuk selalu melakukan inpor, baik dalam bentuk sapi hidup maupun daging dan jeroan sapi (Blue Print, 2010).
Tabel 3. Penyediaan dan Konsumsi Daging Sapi Tahun 2005-2009
No
Uraian
Tahun (000 Ton)
2005
2006
2007
2008
2009
1
Produksi Lokal
217,4
259,5
210,8
233,6
250,8
2
Impor
111,3
119,2
124,8
150,4
142,8

- Bakalan
55,1
57,1
60,8
80,4
72,8

- Daging
56,2
62,0
64,0
70,0
70,0
Total Prod lokal & Impor
328,6
378,7
335,6
384,1
393,6
Konsumsi daging Sapi


314,0
0 313,3
3 325,9
Selisih (Prod Lokal & Konsumsi)


(103,3)
(79,7)
(75,0)
Selisih (Impor dg Kekurangan Prod Lokal)


21,5
70,8
67,8
Berdasarkan tren penyediaan daging seperti pada Tabel 3 di atas, terlihat bahwa sejak tahun 2007 – 2009 terjadi kelebihan impor (bakalan dan daging), sehingga diperlukan kebijakan untuk pengaturan volume impor (Blue Print, 2010 : 23).
Sapi potong merupakan salah satu komponen usaha yang cukup berperan dalam agribibisnis pedesaan, utamanya dalam sistem integrasi dengan subsektor pertanian lainnya, sebagai rantai biologis dan ekonomis sistem usahatani . Terkait dengan penyediaan pupuk, maka sapi dapat berfungsi sebagai "pabrik kompos". Seekor sapi dapat menghasilkan kotoran sebanyak 8-10 kg/hari ; yang apabila diproses akan menjadi 4-5 kg pupuk organik. Potensi pupuk organik ini diharapkan dapat dimanfaatkan secara optimal untuk mernpertahankan kesuburan lahan, melalui siklus unsur hara secara sempuma. Suharto (2000) menyatakan bahwa dengan penerapan model low external input sustainable agricultural (LEISA) dapat diperoleh beberapa keuntungan antara lain: (i) Optimalisasi pemanfaatan sumberdaya lokal ; (ii) Maksimalisasi daur ulang (zero waste); (iii) Minimalisasi kerusakan lingkungan (ramah lingkungan) ; (iv) Diversifikasi usaha ; (v) Pencapaian tingkat produksi yang stabil dan memadai dalam jangka panjang, serta (vi) Menciptakan semangat kemandirian (Mariyono dkk. 2010 : 2).
Kendala utama yang dihadapi petani dalam meningkatkan produktivitas sapi adalah tidak tersedianya pakan secara memadai terutama pada musim kemarau di wilayah yang padat ternak. Untuk itu peternak di beberapa lokasi di Indonesia telah mengembangkan sistem integrasi tanaman ternak (Crops Livestock System, CLS). Pada saat ini telah dikembangkan berbagai model integrasi antara lain Ternak – Padi, Ternak – Hortikultura dan Ternak – Sawit (Blue Print, 2010).
Menurut Kariyasa dan Kasryno (2004), usaha ternak sapi akan efisien jika manajemen pemeliharaan diintegrasikan dengan tanaman sebagai sumber pakan bagi ternak itu sendiri. Ternak sapi menghasilkan pupuk untuk meningkatkan produksi tanaman, sedangkan tanaman dapat menyediakan pakan hijauan bagi ternak.
Pada usaha sapi potong jumlah ternak yang pelihara diukur dalam satuan ternak (ST). menurut (Direktorat Bina Usah Petani Ternak dan Pengelolaan Hasil Peternakan) Satuan Ternak ST adalah ukuran yang digunakan untuk menghubungkan berat badan ternak dengan jumlah makanan ternak yang dimakan. Jadi ST memiliki arti ganda, yaitu ternak itu sendiri atau jumlah makanan ternak yang dimakannya. Mula-mula ST digunakan pada ternak pemamah biak (ruminansia) untuk mengetahui daya tampung suatu padang rumput terhadap jumlah ternak yang dapat dipelihara dengan hasil rumput dari padang tersebut. Satuan ternak yang sehubungan dengan ternak itu sendiri dikelompokkan dalam 3 kategori yaitu:
1. Sapi dewasa (umur> 2 tahun) dinyatakan dalam 1 ST
2. Sapi Muda (umur 1-2 tahun) dinyatakan dalam 0,5 ST
3. Anak Sapi (umur < 1 tahun) dinyatakan dalam 0,25 ST
B. Usaha Tani Padi
Usaha tani padi adalah sistem budidaya yang dijalankan oleh petani dengan memanfaatkan faktor produksi seoptimal mungkin yang bertujuan untuk memperoleh keuntungan. Dalam hal ini bahwa usaha tani padi yang dimaksud dibagi atas tiga bagian yaitu lahan sempit yaitu petani yang mengusahakan lahan dengan luas lebih kecil dari 0,5 Ha, lahan sedang yaitu petani yang mengusahakan lahan dengan luas 0,5-1 Ha, dan lahan luas adalah petani yang mengusahakan lahan lebih dari 1 Ha. Nilai produksi gabah dapat diperoleh dari produksi gabah dikalikan dengan harga gabah dan untuk produksi beras dapat diperoleh dari produksi beras dikalikan dengan harga beras, sedangkan biaya produksi adalah biaya-biaya yang dikeluarkan dalam proses produksi selama usaha tani. Sehingga jelas bahwa pendapatan dapat diperoleh dari penerimaan (nilai produksi) dikurangi dengan biaya produksi (Hutagalung, M., 2007).
Padi merupakan bahan makanan yang menghasilkan beras. Meskipun sebagai bahan makanan pokok padi dapat digantikan oleh bahan makanan lainnya. namun padi memiki nilai tersendiri bagi orang yang biasa makan nasi dan tidak dapat mudah digantikan oleh bahan makanan lainnya (AAK, 1991).
Program peningkatan produktivitas padi terpadu yang dicanangkan oleh departemen pertanian menunjukkan bahwa introduksi teknologi pertanian terpadu tanaman-ternak setelah dua kali musim tanam berlangsung, mampu meningkatkaan produktifitas padi sawah sekitar 1 ton per Ha dan pendapatan petani meningkat antara Rp. 900 ribu – Rp. 1 Juta per hektar musim tanam (Zaini et al., 2003) dalam Priyanti (2007) pengolahan tanaman dan sumber daya terpadu merupakan satu pendekatan inovatif dalam upaya meningkatkan efesiensi usaha padi sawah melalui penerapan komponen teknologi yang memiliki efek sinergistik.
Usaha tani padi yang pengelolaannya dipadukan dengan ternak atau dengan menggunakan pupuk kandang mampu berproduksi sekitar 6,9 - 8,8% lebih tinggi dibanding usaha tani padi yang dikelola secara parsial tanpa menggunakan pupuk kandang. Dari sisi biaya, usaha tani yang dikelola secara terintegrasi membutuhkan biaya pupuk anorganik lebih rendah dibandingkan dengan usaha tani yang dikelola secara parsial. Dari aspek permintaan, tren pasar menunjukkan bahwa konsumen lebih suka memilih produk-produk pertanian organik. Sedangkan dari penghematan devisa, sistem integrasi ini diharapkan dapat mengurangi biaya subsidi pupuk yang diberikan kepada petani sejak tahun 2003 (Blue Print, 2010 : 18).
C. Sistem Integrasi Padi Ternak
Salah satu sistem usaha tani yang dapat mendukung pembangunan pertanian di wilayah pedesaan adalah sistem integrasi tanaman ternak. Ciri utama dari pengintegrasian tanaman dengan ternak adalah terdapatnya keterkaitan yang saling menguntungkan antara tanaman dengan ternak. Keterkaitan tersebut terlihat dari pembagian lahan yang saling terpadu dan pemanfaatan limbah dari masing masing komponen. Saling keterkaitan berbagai komponen sistem integrasi merupakan faktor pemicu dalam mendorong pertumbuhan pendapatan masyarakat tani dan pertumbuhan ekonomi wilayah yang berkelanjutan (Kariyasa dkk, 2005). Dikatakan bahwa sistem integrasi tanaman ternak mengemban tiga fungsi pokok yaitu memperbaiki kesejahteraan dan mendorong pertumbuhan ekonomi, memperkuat ketahanan pangan dan memelihara keberlanjutan lingkungan (Suryanti, 2001).
Program SIPT (Sistem Integrasi Padi-Ternak) merupakan salah satu alternatif dalam meningkatkan produksi padi, daging, susu, dan sekaligus meningkatkan pendapatan petani (Haryanto, 2002). Badan litbang pertanian telah meneliti dan mengkaji Sistem Integrasi Padi Ternak (SIPT) dengan pendekatam Zero Waste. Yang dimaksud Zero Waste adalah pengoptimalkan pemanfaatan sumber daya lokal seperti pemanfaatan jerami sebagai pakan ternak dan kotoran ternak sapi untuk diproses menjadi pupuk organik. Artinya memperbaiki unsur hara yang dibutuhkan tanaman sehingga tidak ada limbah yang terbuang (Dirjen Bina Produksi Peternakan, 2002)
Ada tiga komponen teknologi utama dalam SIPT yaitu a) Teknologi budidaya ternak, b). Teknologi budidaya padi, dan c). Teknologi pengolahan jerami dan kompos. Ketiga komponen teknologi tersebut dapat di integrasikan secara sinergis, maka pengembangan SIPT ini dilaksanakan dengan pendekatan kelembagaan. Yang dimaksud pendekatan kelembagaan disini adalah kelompok ternak dan kepemilikan kelompok ternak serta individu, namun kegiatan individu merupakan satu kesatuan dari kegiatan kelompok seperti pengumpulan jerami padi, pengadaan saprodi dan pemasaran hasil (Muslim, 2006 : 227)
Pengembangan usaha pertanian terintegrasi, selanjutnya disebut Sistem Integrasi Tanaman-Ternak, khusus pada usaha pertanian padi disebut dengan Sistem Integrasi Padi Ternak, adalah intensifikasi sistem usahatani melalui pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan secara terpadu dengan komponen ternak sebagai bagian kegiatan usaha. Menurut Direktorat Jenderal Peternakan (2010), model integrasi tanaman ternak yang dikembangkan di lokasi beberapa daerah dan negara berorientasi pada konsep ”zero waste production system” yaitu seluruh limbah dari ternak dan tanaman didaur ulang dan dimanfaatkan kembali ke dalam siklus produksi. Komponen usahatani dalam model ini meliputi usaha ternak sapi potong, tanaman pangan (padi atau jagung), hortikultura (sayuran), perkebunan, (tebu) dan perikanan (lele, gurami, nila). Limbah ternak (kotoran sapi) diproses menjadi kompos & pupuk organik granuler serta biogas; limbah pertanian (jerami padi, batang & daun jagung, pucuk tebu, jerami kedelai dan kacang tanah) diproses menjadi pakan. Gas-bio dimanfaatkan untuk keperluan memasak, sedangkan limbah biogas (sludge) yang berupa padatan dimanfaatkan menjadi kompos dan bahan campuran pakan sapi & ikan, dan yang berupa cairan dimanfaatkan menjadi pupuk cair untuk tanaman sayuran dan ikan (Ali, Hikma. M 2011 : 3).
Devendra (1993) dalam Priyanti (2007 : 11) menyatakan bahwa terdapat delapan keuntungan dari penerapan pola sistem integrasi tanaman-ternak, yaitu 1) diversivikasi penggunaan sumberdaya produksi 2) mengurangi terjadinya resiko usaha 3) evesiensi penggunaan tenaga kerja 4) evesiensi penggunaan input produksi 5) mengurangi ketergantungan energi kimia dan biologi serta masukan sumber daya lainnya 6) sistem ekologi lebih lestari serta tidak menimbulkan polusi sehingga ramah lingkungan 7) meningkatkan output, dan 8) mampu mengembangkan rumah tangga petani yang berkelanjutan.
D. Biaya Produksi
Produksi adalah salah satu fungsi manajemen yang sangat penting dalam operasi sebuah perusahaan. Kegiatan produksi menunjukkan kepada upayah pengubahan input atau sumber daya menjadi output (barang atau jasa). Input adalah segala bentuk sumber daya yang digunakan dalam pembuatan output. Secara luas input yang dikelompokkan menjadi dua kategori yaitu tenaga kerja (termasuk disini kewirausahaan) dan Kapital (Herlambang, 2002 : 25).
Biaya Produksi merupakan biaya yang harus dikeluarkan oleh pengusaha untuk dapat menghasilkan output atau semua faktor produksi yang digunakan untuk menghasilkan output (Rosyidi, 1996 : 333) sedangkan Soekartawi (2003 : 55) menyatakan bahwa biaya produksi adalah nilai dari semua faktor produksi yang digunakan, baik dalam bentuk benda maupun jasa selama proses produksi berlangsung dan Daniael (2001 : 121), menyatakan bahwa biaya produksi adalah sebagai biaya konpensasi yang diterimah oleh para memilik faktor-faktor produksi, atau biaya-biaya yang dikeluarkan oleh petani dalam proses produksi, baik secara tunai maupun tidak tunai.
Biaya produksi adalah semua biaya untuk memproses atau atau mengolah barang atau jasa, seperti upah tenaga kerja dan bahan baru. Biaya-biaya administrasi, penjualan, serta depresiasi dijumlahkan, dan bila ini dikurangkan dari pendapatan kotor akan diperoleh angka sebelum bunga dan pajak. Selanjutnya diperhitungkan pengeluaran untuk membayar bunga utang dan pajak sampai didapatkan labah bersih yang setelah dikurangi untuk dividen tersisa jumlah yang disebut laba ditahan (Soeharto, 2001)
Biaya merupakan dasar dalam penentuan harga, sebab suatu tingkat harga yang tidak dapat menutupi biaya akan mengakibatkan kerugian operasional maupun biaya non operasional yang menghasilkan keuntungan. Biaya dibedakan menjadi dua yaitu biaya variabel yang merupakan biaya yang berubah-ubah untuk setiap tingkatan, serta biaya tetap yaitu biaya yang dikeluarkan walaupun produksi tidak berjalan (Swastha & Sukartjo, 1993 : 214)
Biaya adalah setiap pengorbanan untuk membuat suatu barang atau untuk memperoleh suatu barang, yang bersifat ekonomis rasional. Jadi dalam pengorbanan ini tidak boleh mengandung pemborosan, sebab segala pemborosan termasuk unsur kerugian, tidak di bebankan ke harga pokok (Alma, 2000 : 125).
Menurut Abidin (2002 : 59) bahwa pencatatan perlu dilakukan untuk dua pos besar, yaitu pos penegularan atau biaya dan pos pendapatan. Biaya dibagi menjadi dua bagian yaitu :
1. Biaya Tetap (Fixed Cost)
Biaya tetap (fixed cost) adalah biaya yang besarnya tetap, walaupun hasil produksinya berubah sampai batas tertentu. Termasuk dalam biaya tetap yaitu biaya sewa lahan, pembuatan kandang, pembelian peralatan dan pajak ternak
2. Biaya Variabel (Variabel Cost)
Biaya variabel (variabel cost) adalah biaya yang jumlahnya berubah jika hasil produksinya berubah. Termasuk dalam biaya ini yaitu biaya pembelian pakan, biaya pembelian bibit, biaya obat-obatan, dan tenaga kerja. Lebih lanjut dijelaskan bahwa diluar biaya tersebut, perlu juga diperhitungkan biaya-biaya yang pada usaha peternakan tradisional tidak pernah diperhitungkan, seperti perhitungan gaji tenaga kerja dari anggota keluarga, bunga modal, dan biaya penyusutan.
3. Biaya Total
Menurut Swastha dan Suktojo (1993 : 217) bahwa biaya total adalah keseluruhan biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan atau dengan kata lain biaya total ini merupakan jumlah dari biaya tetap dan biaya variabel. Biaya total yang dibebankan pada setiap unit disebut biaya total rata-rata (average total cost).
Biaya Total = Biaya Tetap + Biaya variabel

Biaya total adalah pengeluaran yang ditanggung perusahaan untuk membeli berbagai macam input atau faktor-faktor yang dibutuhkan untuk keperluan produksinya (Mankiw, 2000). Menurut Hernanto (1996), biaya merupakan korbanan yang dicurahkan dalam proses produksi, yang semula fisik kemudian diberikan nilai rupiah. Selanjutnya dikatakan korbanan dan atau biaya ini harus digunakan seefisien mungkin agar membuahkan keuntungan yang optimal.
E. Penerimaan
Soekartawi, dkk (1986) dalam (Siregar, 2009 : 34) menyatakan bahwa penerimaan merupakan nilai produk total usaha tani dalam jangka waktu tertentu, baik yang dijual maupun yang tidak dijual. Soeharjo dan Patong (1973) dalam, (Siregar, 2009 : 34) menyatakan bahwa penerimaan merupakan hasil perkalian dari produksi total dengan harga peroleh satuan. Produksi total adalah hasil utama dan sampingan, sedangkan harga adalah harga pada tingkat usaha tani atau harga jual petani.
Penerimaan adalah hasil dari perkalian jumlah produksi dengan harga jual sedangkan pendapatan yaitu selisih dari total penerimaan dengan total biaya dengan rumus π = TR – TC, dimana π adalah keuntungan, TR yaitu total penerimaan dan TC adalah total biaya (Soekartawi, 1995 : 58).
Bentuk umum penerimaan dari penjualan yaitu TR = P x Q ; dimana TR adalah total revenue atau penerimaan, P adalah Price atau harga jual perunit produk dan Q adalah Quantity atau jumlah produk yang dijual. Dengan demikian besaarnya penerimaan tergantung pada dua variabel harga jual dan variabel jumlah produk yang dijual (Rasyaf, 2003 : 12).
Umumnya suatu peternakan, harga yang dikenakan dalam penerimaan adalah harga peternak atau harga yang berlaku ditingkat peternakan. Bila harga yang digunakan adalah harga pasar atau tingkat eceran pasar maka didalam penerimaan tersebut terkandung biaya tataniaga. Saat mendapatkan penerimaan tentu kita belum mengetahui untung atau rugi. Sekalipun demikian, itu sudah dapat menduga berdasarkan harga harapan. Penerimaan dikurangi dengan biaya maka hasilnya dikatakan pendapatan (Rasyaf, 2003 : 122-123).
Dalam mengukur status ekonomi seseorang, dua ukuran yang sering digunakan adalah pendapatan dan kelayakan. Pendapatan mengacuh pada keuntungan (profit). Pendapatan bersih adalah penerimaan dikurang dengan biaya produksi dalam satu kali periode produksi (Samuelson, 2001 : 264)
Pendapatan usaha tani adalah penerimaan merupakan nilai harga jual dikalikan dengan produksi. Sehingga pendapatan adalah penerimaan dikurang biaya produksi. Ada beberapa pembagian tentang pendapatan yaitu (Suharto P. K, 1990 : 129-132) :
a. Pendapatan bersih (Net Income) adalah pendapatan usaha dikurangi biaya
b. Pendapatan tenaga kerja (Labour Income) adalah jumlah seluruh penerimaan dikurangi biaya produsi kecuali tenaga kerja.
c. Pendapatan tenaga kerja keluarga (Family’s Labour Income) adalah total pendapatan tenaga kerja di tambah tenaga kerja dalam keluarga
d. Pendapatan keluarga petani (family’ Income) adalah pendapatan bersih ditambah nilai tenaga kerja keluarga.
F. Pendapatan
Analisis pendapatan berfungsi untuk mengukur berhasil tidaknya suatu kegiatan usaha, menentukan komponen utama pendapatan dan apakah komponen itu masih dapat ditingkatkan, atau tidak. Kegiatan usaha dikatakan berhasil apabila pendapatannya memenuhi syarat cukup untuk memenuhi semua sarana produksi. Analisa usaha tersebut merupakan keterangan yang rinci tentang penerimaan dan pengeluaran selama jangka waktu tertentu Aritonang, 1993 daam (Siregar, 2009 : 32)
Soeharjo dan Patong (1973) dalam (Siregar 2009), menyebutkan bahwa dalam analisis pendapatan diperlukan dua keterangan pokok yaitu keadaan penerimaan dan pengeluaran selama jangka waktu yang ditetapkan. Selanjutnya tujuan analisis pendapatan adalah untuk menggambarkan keadaan sekarang dan keadaan yang akan datang dari kegiatan usaha. Dengan kata lain analisis pendapatan bertujuan untuk mengukur keberhasilan usaha.
Pendapatan usaha ternak sapi sangat dipengaruhi oleh banyaknya ternak yang dijual oleh peternak itu sendiri sehingga semakin banyak jumlah ternak sapi maka semakin tinggi pendapatan bersih yang diperoleh (Soekartawi, 1995).
Pendapatan (keuntungan) adalah selisih antara penerimaan dengan semua biaya dengan rumus π = TR – TC dimana π adalah keuntungan, TR yaitu total penerimaan dan TC adalah total biaya. Selanjutnya dikatakan, bahwa penerimaan diperoleh dari produksi fisik dikalikan dengan harga produksi. Total pendapatan bersih diperoleh dari total penerimaan dkurangi dengan total biaya dalam suatu produksi (Soekartawi, 1995).
Dalam menghitung pendapatan dan keuntungan perlu diperhatikan sistem produksi yang dilakukan. Perhitungan untung rugi memang dilakukan per tahun/ per periode dan untuk seluruh aktivitas peternakan selama kurung waktu tersebut. Akan tetapi, untuk tiap aktivitas per masa produksi perkelompok kandang, perhitungan ini dapat menjadi alat evaluasi, disamping untuk melihat kondisi hasil penjualan. Kelak penerimaan antar kelompok itu dibandingkan untuk bahan evaluasi tahunan, sedangkan untuk keperluan perhitungan neraca laba rugi. Digunakan keseluruhan biaya dan penerimaan. Disinilah pajak itu dihitung dan ditentukan hingga berapa tahun akan kembali modal dan ditahun keberapa menikmati keuntungan (Rasyaf, 2003 :182)
DAFTAR PUSTAKA
AAK, 1991, Petunjuk Beternak Sapi potong dan Kerja. Penerbit Kanisius. Jakarta.
Abidin, 2002 . Penggemukan Sapi Potong. Agromedia Pustaka. Jakarta.
Ali, Hikmah M., Yusuf, Muhammad., Syamsu, Jasmal A. 2011. Prospek Pengembangan Peternakan Berkelanjutan Melalui Sistem Integrasi Tanaman-Ternak Model Zero Waste Di Sulawesi Selatan. Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin Makassar.
Alma, B. 2000. Manajemen Pemasaran dan Pemasaran Jasa. Alfabeta. Bandung.
Amrawaty, A. Amidah. 2009. Kontribusi Pendapatan Usaha Ternak Ayam Buras Pada Petani Padi Dikecamatan Patalassang Kabupaten Takalar. Buletin Ilmu Peternakan, dan Perikanan, Vol XIII (1), Januari 2009. Jurusan Sosial Ekonomi, Fakultas Peternakan, Universitas Hasanuddin. Makassar
Blue Print, 2010. Program Swasembada Daging Sapi 2014. Kementerian Pertanian Direktorat Jenderal Peternakan.
Daniel,M. 2004. Pengantar Ekonomi Pertanian. Bumi Aksara, Jakarta.
Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan. 2002. Pengembangan Kawasan Agribisnis Berbasis Peternakan.
Direktorat Jenderal Peternakan. 2010. Pedoman Teknis Pengembangan Usaha Integrasi Ternak Sapi dan Tanaman. Direktorat Jenderal Peternakan Kementerian Pertanian. Jakarta
Haryanto.B.,I.Inounu.,Arsana.B dan K. Diwyanto. 2002. Sistem Integrasi Padi-Ternak. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian. Jakarta
Herlambang, T. 2002, Ekonomi Manajerial dan Strategi Bersaing. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Hernanto, F. 1996. Ilmu Usahatani. Penebar Swadaya. Jakarta.
Hutagalung,M., 2007. Dampak Peningkatan Harga Beras Terhadap Tingkat Kesejahteraan Petani pada Beberapa Strata Luas lahan. Skripsi. Departemen Sosial Ekonomi, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara. Medan.
Kariyasa, Ketut. 2005. Siatem Integrasi Tanman Ternak dalam Reorientasi Kebijakan Pupuk. Prosding Seminar Nasional Sistem Integrasi Tanaman Ternak. Pusat Litbang Peternkan.
Kariyasa, K. dan F. Kasryno. 2004. Dinamika pemasaran dan prospek pengembangan ternak sapi di Indonesia. Prosiding Seminar Sistem Kelembagaan Usaha Tani Tanaman- Ternak. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta.
Mankiw, N. G. 2000. Pengantar Ekonomi Jilid 1. Terjemahan: H. Munandar.
Erlangga. Jakarta.
Mariono, Anggraeni,Y., Rasyid,A., 2010. Rekomendasi Teknologi Peternakan Dan Veteriner Mendukung Program Swasembada Daging Sapi (PSDS) Tahun 2014. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2010)
Muslim, Chairun. 2006. Penegembangan Sistem Integrasi Padi-Ternak dalam Upaya Pencapaian Swasembada Daging Di Indonesia Suatu Tinjauan Evaluasi. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Volume 4 No. 3, September 2006 : 226-239
Priyanti, Atien., 2007. Dampak Program Sistem Integrasi Tanaman-Ternak Terhadap Alokasi Waktu Kerja, Pendapatan dan Pengeluaran Rumah Tangga Petani. Disertasi. Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor 2007
Rasyaf, 2003. Memasarkan Hasil Peternakan. Penebar Swadaya, Jakarta.
Riady, M. 2004. Tantangan dan peluang peningkatan produksi sapi potong menuju 2020. hlm. 3−6. Dalam B. Setiadi H. Sembiring, T. Panjaitan, Mashur, D. Praptono, A. Muzan, A. Sauki, dan Wildan (Ed.). Prosiding Lokakarya Nasional Sapi Potong. Yogyakarta 8–9 Oktober 2004. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor.
Rianto, Edy & Purbowati, Endang., 2009. Panduan Sapi Potong. Penebar Swadaya. Jakarta
Rosyidi, 1996 . Pengantar Teori Ekonomi, Pendekatan pada Teori Ekonomi Mikro dan Makro. PT. Radja Grafindo Persada. Jakarta.
Soekartawi dkk. 1995. Analisis Usaha Tani. PT. Raha Grafindo Persada, Jakarta.
--------------. 2003. Agribisnis Teori dan Aplikasinya. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Samoelson. 2001. Ilmu Mikro Ekonomi. Raja Grafindo. Jakarta.
Santosa dan Yogaswara. 2006. Manajemen Usaha Ternak Potong. Niaga Swadaya. Jakarta.
Siregar, Surya Amri., 2009. Analisis Pendapatan Peternak sapi Potong di Kecamatan Stabat, Kabupaten Langkat. Skripsi. Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara.
Soeharto.P.K, 1990. Ilmu Usaha Tani. BPFE. Yogyakarta.
Soeharto, Iman., 2001. Studi Kelayakan Proyek Industri. Erlangga. Jakarta.
Suryanti, Reni. 2001. Penerapan Integrasi Usaha Tanaman dan Ternak Serta Kebutuhan Penyuluhan Pertanian. Pasca Sarjana. Universitas Andalas 2011
Swastha, B & Sukartjo,I. 1993. Pengantar Bisnis Modern, Pengantar Ekonomi Perusahaan Modern. Edisi III. Liberty, Yogyakarta.
Umar. 2001. Metode Penelitian. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Tidak ada komentar: