Oleh : Prof. Dr. Drs. Jusuf MM, SKP Bidang Pangan dan Energi
Sejak revitalisasi pertanian peternakan dan
kehutanan (RPPK) diluncurkan Presiden RI pada 2005, konsep integrasi
sawit – sapi mulai diadopsi. Dan memasuki 2007, beberapa pemerintah
daerah menjadikannya sebagai program unggulan. Pengembangan ternak sapi
melalui sistem integrasi di kawasan perkebunan kelapa sawit berpeluang
besar untuk dikembangkan di daerah, mengingat potensi perkebunan kelapa
sawit yang tersedia cukup luas terutama perkebunan rakyat. Gagasan
integrasi usaha peternakan sapi potong ke dalam usaha perkebunan kelapa
sawit dapat mengatasi masalah kelangkaan lahan yang menjadi sandungan
obsesi capaian swasembada daging sapi dan kerbau.
Kontribusi
integrasi sawit – sapi sejauh ini masih dapat ditingkatkan mengingat
luas kebun sawit Indonesia sekitar 10 juta hektar. Tercatat 12 provinsi
saat ini yang memiliki perkebunan sawit, yaitu Aceh, Sumut, Riau, Jambi,
Sumsel, Bengkulu, Lampung, Kalbar, Kalteng, Kalsel, Kaltim dan Babel.
Kalau 25 % saja dari luas total kebun sawit nasional terlibat, akan ada
tambahan sapi 5 – 10 juta ekor. Masing-masing pemerintah kabupaten punya
kepentingan untuk mengembangkannya. Kementerian Pertanian mencatat,
integrasi sawit – sapi sampai 2012 terdapat di 19 kawasan yang tersebar
di 12 provinsi tersebut. Secara umum, tiap kabupaten ditargetkan
menyumbang penambahan sekitar 10 ribu ekor sapi. Ini belum termasuk
program yang didukung oleh Kementerian Pertanian.
Swasembada
adalah kemampuan negara dalam menjamin terwujudnya kemandirian pangan
yang dihasilkan dari produksi pangan dalam negeri. Dengan kata lain,
produksi pangan strategis yang dibangun harus berbasis pada produksi
pangan dalam negeri dan tidak tergantung kepada pihak atau negara lain.
Dalam hal ini, peran Kementerian Pertanian merupakan pelaku utama.
Melalui peran ini, Kementerian Pertanian dapat menjamin ketersediaan
pangan melalui optimalisasi capaian pangan yang berasal dari produk
pangan di dalam negeri.
Secara institusional, Kementerian
Pertanian telah bekerja mensukseskan program swasembada daging.
Instrumen kebijakan pemerintah baik berupa regulasi, fasilitasi maupun
insentif telah diberikan kepada masyarakat dan swasta. Tugas selanjutnya
adalah mengawal agar regulasi tersebut tertuju untuk mencapai
swasembada daging.
Koordinasi dan Sinergi
Program
integrasi ini memerlukan dukungan dana yang cukup besar. Oleh karena
itu, hal ini harus dilaksanakan secara berkoordinasi dan bersinergi
antara pemerintah pusat dan daerah serta melibatkan pula dunia
usaha/swasta, BUMN Pangan, dan masyarakat. Sesuai dengan karakteristik
kepemilikian perkebunan sawit, kombinasi permodalan lebih rasional.
Pemerintah bertanggung jawab untuk memberdayakan petani kecil, sedangkan
swasta diharapkan lebih aktif mendukung program pemerintah.
Bagi
perusahaan perkebunan, kegiatan integrasi sawit dan sapi merupakan unit
bisnis baru yang tentunya memiliki hitung-hitungan kelayakan ekonomi.
Tugas pemerintah adalah menjamin bahwa kelayakan secara ekonomi tersebut
didukung oleh kebijakan baik kebijakan daerah maupun pusat yang tidak
memberatkan, misalnya kebijakan insentif, tataniaga, dan sebagainya.
Sementara
bagi petani kecil, dukungan pemerintah adalah tersedianya bibit ternak
terjangkau, harga jual lebih stabil dan memastikan adanya bimbingan
teknis sehingga menguntungkan. Pemerintah melalui KUR (Kredit Usaha
Rakyat) juga memberikan keleluasaan bagi petani yang sudah lebih berdaya
untuk mengakses modal.
Keterlibatan Menteri BUMN
Untuk
mendorong upaya peningkatan produksi pangan, Presiden telah
menginstruksikan perlunya revitalisasi peran Bulog dan sinergitas BUMN.
Dan kebijakan Menteri BUMN terlibat dalam program integrasi sawit – sapi
merupakan salah satu upaya dari arahan Presiden untuk meningkatkan
produksi pangan dalam hal ini daging sapi, dengan memanfaatkan potensi
BUMN kelapa sawit.
Menteri BUMN memiliki target luar biasa,
mewajibkan seluruh PTPN kelapa sawit untuk memelihara ternak sapi dengan
mematok 100.000 ekor sapi di 10 PTPN kelapa sawit. Ini sesuai dengan
Surat Kementerian BUMN Nomor S-50/D1.MBU/2012 tanggal 22 Februari 2012
tentang Pola Integrasi Peternakan Sapi di Perkebunan Kelapa Sawit dan
Surat Menteri BUMN Nomor S-240/MBU/2012 tanggal 09 Mei 2012 perihal
Penugasan Pelaksanaan Program Integrasi Sapi Sawit.
Saat ini
sudah terealisasi 2500 ekor sapi tersebar di PTPN III, V, VI dan IX.
Untuk memantau perkembangan kegiatan tersebut, Kementerian BUMN – PTPN
bekerjasama dengan Litbang Peternakan dan Ditjennakeswan Kementerian
Pertanian sebagai pendamping teknis. Pola pengembangan integrasi sawit -
sapi diarahkan 70 % untuk penggemukan dan 30 %
pengembangbiakan/pembibitan. Dengan demikian, secara makro dapat
dikatakan bahwa upaya BUMN merupakan bagian integral dari kebijakan
pemerintah untuk menyukseskan swasembada daging. Meskipun sedikit
berbeda dengan kementerian teknis, kementerian BUMN lebih melihat ini
sebagai peluang ekonomi disamping upaya membantu mendukung pencapaian
swasembada ternak 2014.
Strategi Nerikutnya
Walaupun
sistem integrasi ternak sapi pada perkebunan sawit di beberapa daerah
telah menunjukkan hasilnya dan telah dirasakan manfaatnya oleh petani
khususnya perkebunan rakyat, namun masih terdapat kendala untuk
pengembangan dan perlu disusun strategi untuk selanjutnya.
Pertama
adalah ketersediaan bibit sapi yang baik. Saat ini ketergantungan bibit
pada ternak asal Australia sangat tinggi. Ke depan mungkin bisa dibuka
wacana kebijakan pengadaan bibit yang tidak harus country based, tetapi bisa zona based. Sehingga terbuka kesempatan bibit ternak asal Brasil, India, Kanada atau tempat lain.
Kedua
adalah penyebaran penyakit. Adalah tugas dari lembaga litbang dan
perguruan tinggi mengawal kontrol penyakit ternak, karena sapi
dikembangkan di daerah yang lebih terbuka. Apakah lahan sawit dengan
kelembaban tinggi, terlindungi dan memiliki sejarah tanah yang beragam
mampu mendukung pengembangan ternak secara berkelanjutan.
Ketiga
adalah bagaimana Pemerintah terutama kementerian/lembaga dan pemerintah
daerah dapat mendukung permodalan bagi peternak kecil, melakukan
pendampingan manajemen budidaya dan kesehatan ternak, dokumentasi
ternak, serta akses pemasaran yang baik. Juga impor ternak yang masih
menjadi bumper saat ini bisa dikelola agar upaya integrasi ternak sawit tetap memiliki insetif bagi pelakunya.
Keempat,
rendahnya mutu generik sapi rakyat sehingga produktivitas dan efisiensi
usaha ternak sapi menjadi rendah. Peningkatan mutu genetik sapi rakyat
perlu mendapat perhatian yang serius. Fasilitasi pemerintah dituntut
untuk meningkatkan kualitas ternak, baik melalui perkawinan buatan
maupun alami dengan ternak yang memiliki kualitas lebih baik.
Pengembangan inseminasi buatan harus didorong dengan semen (sperma sapi)
unggul baik dari dalam negeri maupun impor.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar