Latar Belakang
Sejalan
dengan amanat Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK)
yang telah dicanangkan oleh Presiden tanggal 11 Juni 2005, bangsa ini
perlu membangun ketahanan pangan yang mantap. Merespon sasaran dalam
RPPK tersebut, pemerintah
Propinsi Sulawesi Selatan telah penetapkan Program Percepatan
Pembangunan Pertanian dengan menetapkan 4 komoditi utama sebagai sasaran
yakni padi (beras), kakao, udang dan ternak sapi. Program ini telah
menetapkan sasaran utama yaitu Surplus 2 juta ton beras tahun 2009,
pencapaian sejuta ekor sapi tahun 2013, dan revitalisasi perkebunan
kakao dan tambak udang. Dalam penetapan sasaran keempat komoditi
tersebut, masing-masing dinas terkait sebagai penanggung jawab program
membuat target secara terpisah, padahal jika dipandang bahwa usaha
pertanian secara umum sebagai suatu sistem, keempat program tersebut
harusnya di jalankan secara terintegrasi dan terpadu (Ali, Hikma. M.,
2011 : 2).
Dalam
bidang peternakan sapi potong merupakan penyumbang daging terbesar dari
kelompok ruminansia terhadap produksi daging nasional sehingga usaha
ternak ini berpotensi untuk dikembangkan sebagai usaha yang
menguntungkan dan meningkatkan pendapatan peternak. Sapi potong telah
lama dipelihara oleh sebagian masyarakat sebagai tabungan dan tenaga
kerja untuk mengolah tanah dengan manajemen pemeliharaan secara
tradisional. Pola usaha ternak sapi potong sebagian besar berupa usaha
rakyat untuk menghasilkan bibit atau penggemukan, dan pemeliharaan
secara terintegrasi dengan tanaman pangan maupun tanaman perkebunan.
Namun demikian masyarakat masih mengusahakannya secara tradisional atau sambilan sehingga produktifitasnya rendah dan belum mampu
mengelolah secara baik contohnya dengan pemanfaatan sumber daya
pertanian dan peternakan secara berkesinambungan sehingga segala
sesuatunya akan kembali kealam yaitu dengan memanfaatkan kembali limbah
yang dihasilkan menjadi sumber daya yang menghasilkan seperti tanaman
pangan yang dihasilkan yaitu padi,
jeraminya dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak terutama ternak sapi
potong. Sedangkan ternak sapi potong menghasilkan daging sebagai bahan
pangan protein dan juga menghasilkan kotoran ternak yang bisa
dimanfaatkan sebagai pupuk, peptisida yang dibutuhkan untuk tanaman
pangan sehingga dengan keterpaduan keduanya mampu meningkatkan
pendapatan masyarakat serta meminimalkan biaya produksi usaha. Untuk itu
perlu adanya pengkajian lebih lanjut untuk penerapan teknologi yang
tepat guna dan berkelanjutan.
Pengembangan
sapi potong perlu dilakukan melalui pendekatan usaha yang
berkelanjutan, modern, dan profesional dengan memanfaatkan inovasi
teknologi untuk meningkatkan efisiensi usaha. Selain itu, pengembangan
usaha sapi potong hendaknya didukung oleh industri pakan dengan
mengoptimalkan pemanfaatan bahan pakan spesifik lokasi melalui pola yang
terintegrasi. Untuk memenuhi kecukupan pangan, terutama protein hewani,
pengembangan peternakan yang terintegrasi merupakan salah satu pilar
pembangunan sosial ekonomi. Pemanfaatan dan pelestarian sumber daya
peternakan yang seimbang merupakan cetak biru (blue print) pengembangan peternakan di masa mendatang (Riady, 2004).
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Ekonomis Sapi Potong
Sapi
potong merupakan komoditas subsektor peternakan yang sangat potensial.
Hal ini bisa dilihat dari tingginya permintaan akan daging sapi. Namun,
sejauh ini Indonesia belum mampu menyuplai semua kebutuhan daging
tersebut. Akibatnya, pemerintah
terpaksa membuka kran inpor sapi hidup maupun daging sapi dari negara
lain, misalnya Australia dan Selandia Baru. Usaha peternakan sapi potong
pada saat ini masih tetap menguntungkan. Pasalnya, permintaan pasar
akan daging sapi masih terus memperlihatkan adanya peningkatan. Selain
dipasar domestik, permintaan daging di pasar luar negeri juga cukup
tinggi (Rianto & Purbowati, 2009 : 3).
Ternak
sapi potong Indonesia memiliki arti yang sangat strategis, terutama
dikaitkan dengan fungsinya sebagai penghasil daging, tenaga kerja,
penghasil pupuk kandang, tabungan, atau sumber rekreasi. Arti yang lebih utamanya
adalah sebagai komoditas sumber pangan hewani yang bertujuan untuk
mensejahterakan manusia, memenuhi kebutuhan selera konsumen dalam rangka
meningkatkan kualitas hidup, dan mencerdaskan masyarakat (Santosa &
Yogaswara, 2006).
Indonesia
dengan jumlah penduduk diatas 220 juta jiwa juga membutuhkan pasokan
daging sapi dalam jumlah yang besar. Sejauh ini, peternakan domestik
belum mampu memenuhi permintaan daging dalam negeri. Timpangnya antara
pasokan dan permintaan ternyata masih tinggi, tidak mengherankan jika
lembaga yang memiliki otoritas tertinggi dalam hal pertanian termasuk
petenakan – Departemen Pertanian (Deptan) mengakui masalah utama usaha sapi
potong di Indonesia terletak pada suplai yang selalu mengalami
kekurangan setiap tahunnya. Sementara laju pertumbuhan konsumsi dan
pertambahan penduduk tidak mampu diimbangi oleh laju peningkatn populasi
sapi potong. Pada gilirannya, kondisi seperti ini memaksa Indonesia
untuk selalu melakukan inpor, baik dalam bentuk sapi hidup maupun daging
dan jeroan sapi (Blue Print, 2010).
Tabel 3. Penyediaan dan Konsumsi Daging Sapi Tahun 2005-2009
No
|
Uraian
|
Tahun (000 Ton)
| ||||
2005
|
2006
|
2007
|
2008
|
2009
| ||
1
|
Produksi Lokal
|
217,4
|
259,5
|
210,8
|
233,6
|
250,8
|
2
|
Impor
|
111,3
|
119,2
|
124,8
|
150,4
|
142,8
|
|
- Bakalan
|
55,1
|
57,1
|
60,8
|
80,4
|
72,8
|
|
- Daging
|
56,2
|
62,0
|
64,0
|
70,0
|
70,0
|
Total Prod lokal & Impor
|
328,6
|
378,7
|
335,6
|
384,1
|
393,6
| |
Konsumsi daging Sapi
| | |
314,0
|
0 313,3
|
3 325,9
| |
Selisih (Prod Lokal & Konsumsi)
| | |
(103,3)
|
(79,7)
|
(75,0)
| |
Selisih (Impor dg Kekurangan Prod Lokal)
| | |
21,5
|
70,8
|
67,8
|
Berdasarkan
tren penyediaan daging seperti pada Tabel 3 di atas, terlihat bahwa
sejak tahun 2007 – 2009 terjadi kelebihan impor (bakalan dan daging),
sehingga diperlukan kebijakan untuk pengaturan volume impor (Blue Print,
2010 : 23).
Sapi
potong merupakan salah satu komponen usaha yang cukup berperan dalam
agribibisnis pedesaan, utamanya dalam sistem integrasi dengan subsektor
pertanian lainnya, sebagai rantai biologis dan ekonomis sistem usahatani
. Terkait dengan penyediaan pupuk, maka sapi dapat berfungsi sebagai
"pabrik kompos". Seekor sapi dapat menghasilkan kotoran sebanyak 8-10
kg/hari ; yang apabila diproses akan menjadi 4-5 kg pupuk organik.
Potensi pupuk organik ini diharapkan dapat dimanfaatkan secara optimal
untuk mernpertahankan kesuburan lahan, melalui siklus unsur hara secara
sempuma. Suharto (2000) menyatakan bahwa dengan penerapan model low
external input sustainable agricultural (LEISA) dapat diperoleh beberapa
keuntungan antara lain: (i) Optimalisasi pemanfaatan sumberdaya lokal ;
(ii) Maksimalisasi daur ulang (zero waste); (iii) Minimalisasi
kerusakan lingkungan (ramah lingkungan) ; (iv) Diversifikasi usaha ; (v)
Pencapaian tingkat produksi yang stabil dan memadai dalam jangka
panjang, serta (vi) Menciptakan semangat kemandirian (Mariyono dkk. 2010
: 2).
Kendala
utama yang dihadapi petani dalam meningkatkan produktivitas sapi adalah
tidak tersedianya pakan secara memadai terutama pada musim kemarau di
wilayah yang padat ternak. Untuk itu peternak di beberapa lokasi di
Indonesia telah mengembangkan sistem integrasi tanaman ternak (Crops Livestock System, CLS).
Pada saat ini telah dikembangkan berbagai model integrasi antara lain
Ternak – Padi, Ternak – Hortikultura dan Ternak – Sawit (Blue Print,
2010).
Menurut
Kariyasa dan Kasryno (2004), usaha ternak sapi akan efisien jika
manajemen pemeliharaan diintegrasikan dengan tanaman sebagai sumber
pakan bagi ternak itu sendiri. Ternak sapi menghasilkan pupuk untuk
meningkatkan produksi tanaman, sedangkan tanaman dapat menyediakan pakan
hijauan bagi ternak.
Pada
usaha sapi potong jumlah ternak yang pelihara diukur dalam satuan
ternak (ST). menurut (Direktorat Bina Usah Petani Ternak dan Pengelolaan
Hasil Peternakan) Satuan Ternak ST adalah ukuran yang digunakan untuk
menghubungkan berat badan ternak dengan jumlah makanan ternak yang
dimakan. Jadi ST memiliki arti ganda, yaitu ternak itu sendiri atau
jumlah makanan ternak yang dimakannya. Mula-mula ST digunakan pada
ternak pemamah biak (ruminansia) untuk mengetahui daya tampung suatu
padang rumput terhadap jumlah ternak yang dapat dipelihara dengan hasil
rumput dari padang tersebut. Satuan ternak yang sehubungan dengan ternak
itu sendiri dikelompokkan dalam 3 kategori yaitu:
1. Sapi dewasa (umur> 2 tahun) dinyatakan dalam 1 ST
2. Sapi Muda (umur 1-2 tahun) dinyatakan dalam 0,5 ST
3. Anak Sapi (umur < 1 tahun) dinyatakan dalam 0,25 ST
B. Usaha Tani Padi
Usaha
tani padi adalah sistem budidaya yang dijalankan oleh petani dengan
memanfaatkan faktor produksi seoptimal mungkin yang bertujuan untuk
memperoleh keuntungan. Dalam hal ini bahwa usaha tani padi yang dimaksud
dibagi atas tiga bagian yaitu lahan sempit yaitu petani yang
mengusahakan lahan dengan luas lebih kecil dari 0,5 Ha, lahan sedang
yaitu petani yang mengusahakan lahan dengan luas 0,5-1 Ha, dan lahan
luas adalah petani yang mengusahakan lahan lebih dari 1 Ha. Nilai
produksi gabah dapat diperoleh dari produksi gabah dikalikan dengan
harga gabah dan untuk produksi beras dapat diperoleh dari produksi beras
dikalikan dengan harga beras, sedangkan biaya produksi adalah
biaya-biaya yang dikeluarkan dalam proses produksi selama usaha tani.
Sehingga jelas bahwa pendapatan dapat diperoleh dari penerimaan (nilai
produksi) dikurangi dengan biaya produksi (Hutagalung, M., 2007).
Padi
merupakan bahan makanan yang menghasilkan beras. Meskipun sebagai bahan
makanan pokok padi dapat digantikan oleh bahan makanan lainnya. namun
padi memiki nilai tersendiri bagi orang yang biasa makan nasi dan tidak
dapat mudah digantikan oleh bahan makanan lainnya (AAK, 1991).
Program
peningkatan produktivitas padi terpadu yang dicanangkan oleh departemen
pertanian menunjukkan bahwa introduksi teknologi pertanian terpadu
tanaman-ternak setelah dua kali musim tanam berlangsung, mampu
meningkatkaan produktifitas padi sawah sekitar 1 ton per Ha dan
pendapatan petani meningkat antara Rp. 900 ribu – Rp. 1 Juta per hektar
musim tanam (Zaini et al., 2003) dalam Priyanti (2007) pengolahan
tanaman dan sumber daya terpadu merupakan satu pendekatan inovatif dalam
upaya meningkatkan efesiensi usaha padi sawah melalui penerapan
komponen teknologi yang memiliki efek sinergistik.
Usaha
tani padi yang pengelolaannya dipadukan dengan ternak atau dengan
menggunakan pupuk kandang mampu berproduksi sekitar 6,9 - 8,8% lebih
tinggi dibanding usaha tani padi yang dikelola secara parsial tanpa
menggunakan pupuk kandang. Dari sisi biaya, usaha tani yang dikelola
secara terintegrasi membutuhkan biaya pupuk anorganik lebih rendah
dibandingkan dengan usaha tani yang dikelola secara parsial. Dari aspek
permintaan, tren pasar menunjukkan bahwa konsumen lebih suka memilih
produk-produk pertanian organik. Sedangkan dari penghematan devisa,
sistem integrasi ini diharapkan dapat mengurangi biaya subsidi pupuk
yang diberikan kepada petani sejak tahun 2003 (Blue Print, 2010 : 18).
C. Sistem Integrasi Padi Ternak
Salah
satu sistem usaha tani yang dapat mendukung pembangunan pertanian di
wilayah pedesaan adalah sistem integrasi tanaman ternak. Ciri utama dari
pengintegrasian tanaman dengan ternak adalah terdapatnya keterkaitan
yang saling menguntungkan antara tanaman dengan ternak. Keterkaitan
tersebut terlihat dari pembagian lahan yang saling terpadu dan
pemanfaatan limbah dari masing masing komponen. Saling keterkaitan
berbagai komponen sistem integrasi merupakan faktor pemicu dalam
mendorong pertumbuhan pendapatan masyarakat tani dan pertumbuhan ekonomi
wilayah yang berkelanjutan (Kariyasa dkk, 2005). Dikatakan bahwa sistem
integrasi tanaman ternak mengemban tiga fungsi pokok yaitu memperbaiki
kesejahteraan dan mendorong pertumbuhan ekonomi, memperkuat ketahanan
pangan dan memelihara keberlanjutan lingkungan (Suryanti, 2001).
Program
SIPT (Sistem Integrasi Padi-Ternak) merupakan salah satu alternatif
dalam meningkatkan produksi padi, daging, susu, dan sekaligus
meningkatkan pendapatan petani (Haryanto, 2002). Badan litbang pertanian
telah meneliti dan mengkaji Sistem Integrasi Padi Ternak (SIPT) dengan
pendekatam Zero Waste. Yang
dimaksud Zero Waste adalah pengoptimalkan pemanfaatan sumber daya lokal
seperti pemanfaatan jerami sebagai pakan ternak dan kotoran ternak sapi
untuk diproses menjadi pupuk organik. Artinya memperbaiki unsur hara
yang dibutuhkan tanaman sehingga tidak ada limbah yang terbuang (Dirjen
Bina Produksi Peternakan, 2002)
Ada
tiga komponen teknologi utama dalam SIPT yaitu a) Teknologi budidaya
ternak, b). Teknologi budidaya padi, dan c). Teknologi pengolahan jerami
dan kompos. Ketiga komponen teknologi tersebut dapat di integrasikan
secara sinergis, maka pengembangan SIPT ini dilaksanakan dengan
pendekatan kelembagaan. Yang dimaksud pendekatan kelembagaan disini
adalah kelompok ternak dan kepemilikan kelompok ternak serta
individu, namun kegiatan individu merupakan satu kesatuan dari kegiatan
kelompok seperti pengumpulan jerami padi, pengadaan saprodi dan
pemasaran hasil (Muslim, 2006 : 227)
Pengembangan
usaha pertanian terintegrasi, selanjutnya disebut Sistem Integrasi
Tanaman-Ternak, khusus pada usaha pertanian padi disebut dengan Sistem
Integrasi Padi Ternak, adalah intensifikasi sistem usahatani melalui
pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan secara terpadu dengan
komponen ternak sebagai bagian kegiatan usaha. Menurut Direktorat
Jenderal Peternakan (2010), model integrasi tanaman ternak yang
dikembangkan di lokasi beberapa daerah dan negara berorientasi pada
konsep ”zero waste production system”
yaitu seluruh limbah dari ternak dan tanaman didaur ulang dan
dimanfaatkan kembali ke dalam siklus produksi. Komponen usahatani dalam
model ini meliputi usaha ternak sapi potong, tanaman pangan (padi atau
jagung), hortikultura (sayuran), perkebunan, (tebu) dan perikanan (lele,
gurami, nila). Limbah ternak (kotoran sapi) diproses menjadi kompos
& pupuk organik granuler serta biogas; limbah pertanian (jerami
padi, batang & daun jagung, pucuk tebu, jerami kedelai dan kacang
tanah) diproses menjadi pakan. Gas-bio dimanfaatkan untuk keperluan
memasak, sedangkan limbah biogas (sludge) yang berupa padatan
dimanfaatkan menjadi kompos dan bahan campuran pakan sapi & ikan,
dan yang berupa cairan dimanfaatkan menjadi pupuk cair untuk tanaman
sayuran dan ikan (Ali, Hikma. M 2011 : 3).
Devendra
(1993) dalam Priyanti (2007 : 11) menyatakan bahwa terdapat delapan
keuntungan dari penerapan pola sistem integrasi tanaman-ternak, yaitu 1)
diversivikasi penggunaan sumberdaya produksi 2) mengurangi terjadinya
resiko usaha 3) evesiensi penggunaan tenaga kerja 4) evesiensi
penggunaan input produksi 5) mengurangi ketergantungan energi kimia dan
biologi serta masukan sumber daya lainnya 6) sistem ekologi lebih
lestari serta tidak menimbulkan polusi sehingga ramah lingkungan 7)
meningkatkan output, dan 8) mampu mengembangkan rumah tangga petani yang
berkelanjutan.
D. Biaya Produksi
Produksi
adalah salah satu fungsi manajemen yang sangat penting dalam operasi
sebuah perusahaan. Kegiatan produksi menunjukkan kepada upayah
pengubahan input atau sumber daya menjadi output (barang atau jasa).
Input adalah segala bentuk sumber daya yang digunakan dalam pembuatan
output. Secara luas input yang dikelompokkan menjadi dua kategori yaitu
tenaga kerja (termasuk disini kewirausahaan) dan Kapital (Herlambang,
2002 : 25).
Biaya
Produksi merupakan biaya yang harus dikeluarkan oleh pengusaha untuk
dapat menghasilkan output atau semua faktor produksi yang digunakan
untuk menghasilkan output (Rosyidi, 1996 : 333) sedangkan Soekartawi
(2003 : 55) menyatakan bahwa biaya produksi adalah nilai dari semua
faktor produksi yang digunakan, baik dalam bentuk benda maupun jasa
selama proses produksi berlangsung dan Daniael (2001 : 121), menyatakan
bahwa biaya produksi adalah sebagai biaya konpensasi yang diterimah oleh
para memilik faktor-faktor produksi, atau biaya-biaya yang dikeluarkan
oleh petani dalam proses produksi, baik secara tunai maupun tidak tunai.
Biaya
produksi adalah semua biaya untuk memproses atau atau mengolah barang
atau jasa, seperti upah tenaga kerja dan bahan baru. Biaya-biaya
administrasi, penjualan, serta depresiasi dijumlahkan, dan bila ini
dikurangkan dari pendapatan kotor akan diperoleh angka sebelum bunga dan
pajak. Selanjutnya diperhitungkan pengeluaran untuk membayar bunga
utang dan pajak sampai didapatkan labah bersih yang setelah dikurangi
untuk dividen tersisa jumlah yang disebut laba ditahan (Soeharto, 2001)
Biaya
merupakan dasar dalam penentuan harga, sebab suatu tingkat harga yang
tidak dapat menutupi biaya akan mengakibatkan kerugian operasional
maupun biaya non operasional yang menghasilkan keuntungan. Biaya
dibedakan menjadi dua yaitu biaya variabel yang merupakan biaya yang
berubah-ubah untuk setiap tingkatan, serta biaya tetap yaitu biaya yang
dikeluarkan walaupun produksi tidak berjalan (Swastha & Sukartjo,
1993 : 214)
Biaya
adalah setiap pengorbanan untuk membuat suatu barang atau untuk
memperoleh suatu barang, yang bersifat ekonomis rasional. Jadi dalam
pengorbanan ini tidak boleh mengandung pemborosan, sebab segala
pemborosan termasuk unsur kerugian, tidak di bebankan ke harga pokok (Alma, 2000 : 125).
Menurut Abidin (2002 : 59) bahwa
pencatatan perlu dilakukan untuk dua pos besar, yaitu pos penegularan
atau biaya dan pos pendapatan. Biaya dibagi menjadi dua bagian yaitu :
1. Biaya Tetap (Fixed Cost)
Biaya tetap (fixed cost) adalah
biaya yang besarnya tetap, walaupun hasil produksinya berubah sampai
batas tertentu. Termasuk dalam biaya tetap yaitu biaya sewa lahan,
pembuatan kandang, pembelian peralatan dan pajak ternak
2. Biaya Variabel (Variabel Cost)
Biaya variabel (variabel cost) adalah
biaya yang jumlahnya berubah jika hasil produksinya berubah. Termasuk
dalam biaya ini yaitu biaya pembelian pakan, biaya pembelian bibit,
biaya obat-obatan, dan tenaga kerja. Lebih lanjut dijelaskan bahwa
diluar biaya tersebut, perlu juga diperhitungkan biaya-biaya yang pada
usaha peternakan tradisional tidak pernah diperhitungkan, seperti
perhitungan gaji tenaga kerja dari anggota keluarga, bunga modal, dan
biaya penyusutan.
3. Biaya Total
Menurut
Swastha dan Suktojo (1993 : 217) bahwa biaya total adalah keseluruhan
biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan atau dengan kata lain biaya total
ini merupakan jumlah dari biaya tetap dan biaya variabel. Biaya total yang dibebankan pada setiap unit disebut biaya total rata-rata (average total cost).
Biaya Total = Biaya Tetap + Biaya variabel
Biaya total adalah pengeluaran yang ditanggung perusahaan untuk membeli berbagai
macam input atau faktor-faktor yang dibutuhkan untuk keperluan
produksinya (Mankiw, 2000). Menurut Hernanto (1996), biaya merupakan
korbanan yang dicurahkan dalam proses produksi, yang semula fisik
kemudian diberikan nilai rupiah. Selanjutnya dikatakan korbanan dan atau
biaya ini harus digunakan seefisien mungkin agar membuahkan keuntungan
yang optimal.
E. Penerimaan
Soekartawi,
dkk (1986) dalam (Siregar, 2009 : 34) menyatakan bahwa penerimaan
merupakan nilai produk total usaha tani dalam jangka waktu tertentu,
baik yang dijual maupun yang tidak dijual. Soeharjo dan Patong (1973)
dalam, (Siregar, 2009 : 34) menyatakan bahwa penerimaan merupakan hasil
perkalian dari produksi total dengan harga peroleh satuan. Produksi
total adalah hasil utama dan sampingan, sedangkan harga adalah harga
pada tingkat usaha tani atau harga jual petani.
Penerimaan
adalah hasil dari perkalian jumlah produksi dengan harga jual sedangkan
pendapatan yaitu selisih dari total penerimaan dengan total biaya
dengan rumus π = TR – TC, dimana π adalah keuntungan, TR yaitu total
penerimaan dan TC adalah total biaya (Soekartawi, 1995 : 58).
Bentuk umum penerimaan dari penjualan yaitu TR = P x Q ; dimana TR adalah total revenue atau penerimaan, P adalah Price atau harga jual perunit produk dan Q adalah Quantity atau
jumlah produk yang dijual. Dengan demikian besaarnya penerimaan
tergantung pada dua variabel harga jual dan variabel jumlah produk yang
dijual (Rasyaf, 2003 : 12).
Umumnya
suatu peternakan, harga yang dikenakan dalam penerimaan adalah harga
peternak atau harga yang berlaku ditingkat peternakan. Bila harga yang
digunakan adalah harga pasar atau tingkat eceran pasar maka didalam
penerimaan tersebut terkandung biaya tataniaga. Saat mendapatkan
penerimaan tentu kita belum mengetahui untung atau rugi. Sekalipun
demikian, itu sudah dapat menduga berdasarkan harga harapan. Penerimaan
dikurangi dengan biaya maka hasilnya dikatakan pendapatan (Rasyaf, 2003 :
122-123).
Dalam
mengukur status ekonomi seseorang, dua ukuran yang sering digunakan
adalah pendapatan dan kelayakan. Pendapatan mengacuh pada keuntungan (profit). Pendapatan bersih adalah penerimaan dikurang dengan biaya produksi dalam satu kali periode produksi (Samuelson, 2001 : 264)
Pendapatan
usaha tani adalah penerimaan merupakan nilai harga jual dikalikan
dengan produksi. Sehingga pendapatan adalah penerimaan dikurang biaya
produksi. Ada beberapa pembagian tentang pendapatan yaitu (Suharto P. K,
1990 : 129-132) :
a. Pendapatan bersih (Net Income) adalah pendapatan usaha dikurangi biaya
b. Pendapatan tenaga kerja (Labour Income) adalah jumlah seluruh penerimaan dikurangi biaya produsi kecuali tenaga kerja.
c. Pendapatan tenaga kerja keluarga (Family’s Labour Income) adalah total pendapatan tenaga kerja di tambah tenaga kerja dalam keluarga
d. Pendapatan keluarga petani (family’ Income) adalah pendapatan bersih ditambah nilai tenaga kerja keluarga.
F. Pendapatan
Analisis pendapatan berfungsi untuk mengukur berhasil
tidaknya suatu kegiatan usaha, menentukan komponen utama pendapatan dan
apakah komponen itu masih dapat ditingkatkan, atau tidak. Kegiatan
usaha dikatakan berhasil apabila pendapatannya memenuhi syarat cukup
untuk memenuhi semua sarana produksi. Analisa usaha tersebut merupakan
keterangan yang rinci tentang penerimaan dan pengeluaran selama jangka
waktu tertentu Aritonang, 1993 daam (Siregar, 2009 : 32)
Soeharjo
dan Patong (1973) dalam (Siregar 2009), menyebutkan bahwa dalam
analisis pendapatan diperlukan dua keterangan pokok yaitu keadaan
penerimaan dan pengeluaran selama jangka waktu yang ditetapkan.
Selanjutnya tujuan analisis pendapatan adalah untuk menggambarkan
keadaan sekarang dan keadaan yang akan datang dari kegiatan usaha.
Dengan kata lain analisis pendapatan bertujuan untuk mengukur
keberhasilan usaha.
Pendapatan
usaha ternak sapi sangat dipengaruhi oleh banyaknya ternak yang dijual
oleh peternak itu sendiri sehingga semakin banyak jumlah ternak sapi
maka semakin tinggi pendapatan bersih yang diperoleh (Soekartawi, 1995).
Pendapatan
(keuntungan) adalah selisih antara penerimaan dengan semua biaya dengan
rumus π = TR – TC dimana π adalah keuntungan, TR yaitu total penerimaan
dan TC adalah total biaya. Selanjutnya dikatakan, bahwa penerimaan
diperoleh dari produksi fisik dikalikan dengan harga produksi. Total
pendapatan bersih diperoleh dari total penerimaan dkurangi dengan total
biaya dalam suatu produksi (Soekartawi, 1995).
Dalam
menghitung pendapatan dan keuntungan perlu diperhatikan sistem produksi
yang dilakukan. Perhitungan untung rugi memang dilakukan per tahun/ per
periode dan untuk seluruh aktivitas peternakan selama kurung waktu
tersebut. Akan tetapi, untuk tiap aktivitas per masa produksi
perkelompok kandang, perhitungan ini dapat menjadi alat evaluasi,
disamping untuk melihat kondisi hasil penjualan. Kelak penerimaan antar
kelompok itu dibandingkan untuk bahan evaluasi tahunan, sedangkan untuk
keperluan perhitungan neraca laba rugi. Digunakan keseluruhan biaya dan
penerimaan. Disinilah pajak itu dihitung dan ditentukan hingga berapa
tahun akan kembali modal dan ditahun keberapa menikmati keuntungan
(Rasyaf, 2003 :182)
DAFTAR PUSTAKA
AAK, 1991, Petunjuk Beternak Sapi potong dan Kerja. Penerbit Kanisius. Jakarta.
Abidin, 2002 . Penggemukan Sapi Potong. Agromedia Pustaka. Jakarta.
Ali, Hikmah M., Yusuf, Muhammad., Syamsu, Jasmal A. 2011. Prospek Pengembangan Peternakan Berkelanjutan Melalui Sistem Integrasi Tanaman-Ternak Model Zero Waste Di Sulawesi Selatan. Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin Makassar.
Alma, B. 2000. Manajemen Pemasaran dan Pemasaran Jasa. Alfabeta. Bandung.
Amrawaty, A. Amidah. 2009. Kontribusi Pendapatan Usaha Ternak Ayam Buras Pada Petani Padi Dikecamatan Patalassang Kabupaten Takalar. Buletin Ilmu Peternakan, dan Perikanan, Vol XIII (1), Januari 2009. Jurusan Sosial Ekonomi, Fakultas Peternakan, Universitas Hasanuddin. Makassar
Blue Print, 2010. Program Swasembada Daging Sapi 2014. Kementerian Pertanian Direktorat Jenderal Peternakan.
Daniel,M. 2004. Pengantar Ekonomi Pertanian. Bumi Aksara, Jakarta.
Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan. 2002. Pengembangan Kawasan Agribisnis Berbasis Peternakan.
Direktorat Jenderal Peternakan. 2010. Pedoman Teknis Pengembangan Usaha Integrasi Ternak Sapi dan Tanaman. Direktorat Jenderal Peternakan Kementerian Pertanian. Jakarta
Haryanto.B.,I.Inounu.,Arsana.B dan K. Diwyanto. 2002. Sistem Integrasi Padi-Ternak. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian. Jakarta
Herlambang, T. 2002, Ekonomi Manajerial dan Strategi Bersaing. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Hernanto, F. 1996. Ilmu Usahatani. Penebar Swadaya. Jakarta.
Hutagalung,M., 2007. Dampak Peningkatan Harga Beras Terhadap Tingkat Kesejahteraan Petani pada Beberapa Strata Luas lahan. Skripsi. Departemen Sosial Ekonomi, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara. Medan.
Kariyasa, Ketut. 2005. Siatem Integrasi Tanman Ternak dalam Reorientasi Kebijakan Pupuk. Prosding Seminar Nasional Sistem Integrasi Tanaman Ternak. Pusat Litbang Peternkan.
Kariyasa, K. dan F. Kasryno. 2004. Dinamika pemasaran dan prospek pengembangan ternak sapi di Indonesia. Prosiding Seminar Sistem Kelembagaan Usaha Tani Tanaman- Ternak. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta.
Mankiw, N. G. 2000. Pengantar Ekonomi Jilid 1. Terjemahan: H. Munandar.
Erlangga. Jakarta.
Mariono, Anggraeni,Y., Rasyid,A., 2010. Rekomendasi Teknologi Peternakan Dan Veteriner Mendukung Program Swasembada Daging Sapi (PSDS) Tahun 2014. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2010)
Muslim, Chairun. 2006. Penegembangan Sistem Integrasi Padi-Ternak dalam Upaya Pencapaian Swasembada Daging Di Indonesia Suatu Tinjauan Evaluasi. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Volume 4 No. 3, September 2006 : 226-239
Priyanti, Atien., 2007. Dampak Program Sistem Integrasi Tanaman-Ternak Terhadap Alokasi Waktu Kerja, Pendapatan dan Pengeluaran Rumah Tangga Petani. Disertasi. Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor 2007
Rasyaf, 2003. Memasarkan Hasil Peternakan. Penebar Swadaya, Jakarta.
Riady, M. 2004. Tantangan dan peluang peningkatan produksi sapi potong menuju 2020. hlm. 3−6. Dalam B.
Setiadi H. Sembiring, T. Panjaitan, Mashur, D. Praptono, A. Muzan, A.
Sauki, dan Wildan (Ed.). Prosiding Lokakarya Nasional Sapi Potong.
Yogyakarta 8–9 Oktober 2004. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Peternakan, Bogor.
Rianto, Edy & Purbowati, Endang., 2009. Panduan Sapi Potong. Penebar Swadaya. Jakarta
Rosyidi, 1996 . Pengantar Teori Ekonomi, Pendekatan pada Teori Ekonomi Mikro dan Makro. PT. Radja Grafindo Persada. Jakarta.
Soekartawi dkk. 1995. Analisis Usaha Tani. PT. Raha Grafindo Persada, Jakarta.
--------------. 2003. Agribisnis Teori dan Aplikasinya. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Samoelson. 2001. Ilmu Mikro Ekonomi. Raja Grafindo. Jakarta.
Santosa dan Yogaswara. 2006. Manajemen Usaha Ternak Potong. Niaga Swadaya. Jakarta.
Siregar, Surya Amri., 2009. Analisis Pendapatan Peternak sapi Potong di Kecamatan Stabat, Kabupaten Langkat. Skripsi. Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara.
Soeharto.P.K, 1990. Ilmu Usaha Tani. BPFE. Yogyakarta.
Soeharto, Iman., 2001. Studi Kelayakan Proyek Industri. Erlangga. Jakarta.
Suryanti, Reni. 2001. Penerapan Integrasi Usaha Tanaman dan Ternak Serta Kebutuhan Penyuluhan Pertanian. Pasca Sarjana. Universitas Andalas 2011
Swastha, B & Sukartjo,I. 1993. Pengantar Bisnis Modern, Pengantar Ekonomi Perusahaan Modern. Edisi III. Liberty, Yogyakarta.
Umar. 2001. Metode Penelitian. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar